Sejak berumur 5 tahun, aku selalu bermimpi menjadi seorang putri. Aku selalu berpikir, menjadi seorang putri itu menyenangkan. Wajah cantik dengan rambut disasak tinggi. Mahkota mungil indah bertatahkan berlian yang berkilau dan tampak memesona. Baju berwarna cerah dengan rok yang besar mengembang. Sepatu kaca berhak tinggi yang tampak cantik di kaki. Istana besar tinggi menjulang dengan halaman yang luas dan jalan menuju istana yang berliku di depannya dengan pemandangan pohon cemara di sepanjang kanan kiri jalan. Taman maze dengan rumput yang dipotong rapi dan air mancur tepat di tengah maze. Kereta kuda berbentuk labu yang selalu siap sedia mengantar putrid ke manapun dia pergi. Dan tak ketinggalan, pangeran tampan berkuda putih yang datang saat pesta dansa, membawa pedang untuk selalu melindungi putri. Setiap kisah akan berakhir saat pangeran berlutut menawarkan cincin di jari manis putrid dan menjanjikan kehidupan “happily ever after”. Semua gambaran itu sungguh menggiurkanku. Itulah mengapa aku selalu ingin menjadi putri.

Saat aku remaja, keinginan menjadi putri itu berubah dalam bentuk lain yang lebih nyata. Ingin berpenampilan menarik seperti putri yang selalu berpakaian indah dengan rambut sasak tinggi dan mahkota berliannya, menghabiskan uang dan waktu luang di salon dan toko pakaian. Ingin memiliki rumah megah dan mobil mewah, seperti putri yang beristana tinggi menjulang dengan kereta kuda berbentuk labu yang selalu siap digunakan terparkir di depan istananya. Dan yang terakhir, berlagak genit di hadapan setiap pria tampan berharap akan dibalas sanjungan, seperti putri dipuja- puja pangeran tampan berkuda putihnya. Sungguh pikiran yang sangat duniawi. Dangkal, nyata, tetapi labil. Sama seperti jiwaku sebagai seorang remaja saat itu, jiwa yang labil.

Dan akhirnya aku tumbuh menjadi seorang wanita dewasa. Aku menjadi wanita dewasa yang tetap memiliki impiannya untuk menjadi putri. Tetapi aku tidak lagi menginginkan baju indah, rambut sasak tinggi dengan mahkota berkilaunya, sepatu kaca, istana megah, maupun kereta kuda labu mewah. Aku mulai memikirkan sosok seorang putri dengan cara yang tidak pernah kumengerti sebelumnya. Aku mulai menyadari bahwa ilustrasi seorang putri di setiap buku cerita dongengku hanyalah ilustrasi kosong. Senyum yang terlukis bukanlah senyum yang sebenarnya. Bahwa putri tak pernah bahagia. Dan saat aku membuka halaman terakhir buku dongengku, aku menemukan senyum tulus itu. Senyum seorang putri saat berjumpa dengan pangeran tampan berkuda putihnya. aku pun mulai memahami satu hal penting dalam kehidupan ini. Bukan wajah cantik, bukan baju indah, bukan mahkota berlian, bukan istana megah, dan bukan kereta kuda mewah. Kebahagiaan itu adalah cinta. Bagaimana kita dicintai dan bagaimana kita mencintai.

Putri hanya memiliki satu cinta, cinta yang tak pernah membahagiakannya saat hanya dia miliki sendiri. Tapi cinta itu berubah menjadi kekuatan, kebahagiaan yang mampu menarik setiap sudut bibirnya untuk tersenyum tulus, saat cinta itu dibagikan. Maka, bagikanlah cintamu dan kamu akan hidup ‘’happily ever after’’.

Setiap gadis yang bercita- cita menjadi putri tidaklah salah. Dia akan berjalan melangkah di setiap tangga kehidupannya, menyadari bagaimana caranya menjadi putri bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya. Dia akan hidup dengan penuh cinta karena seorang putri akan selalu mengikuti hatinya. Hati yang selalu ingin membagikan cinta, pada siapa saja yang dia temui di dunia.

About princess rapunah

wanita yang akan membesarkan anak perempuannya dengan buku dongeng, agar dia tumbuh menjadi gadis remaja yang penuh mimpi.

Tinggalkan komentar